Pengunjung Kincia Aia. (Dok. Rani Jambak)

Namun, dalam tangan kreatif Rani, kincir air ini tidak hanya berfungsi sebagai alat mekanis, melainkan juga sebagai instrumen musik yang berinteraksi dengan teknologi sensorik digital.

Putaran kincir menggerakkan mekanisme alu-alu penumbuk, sementara gerakan dari alu-alu tersebut memukul mengaktivasi sensor digital, membunyikan suara hasil rekaman soundscape yang kemudian diolah menjadi komposisi musik yang unik.

Dalam pertunjukan ini, komposisi Rani dihasilkan oleh elemen-elemen suara dari olahan teknologi digital, baik dari suara berbagai instrumen tradisional Minangkabau seperti pupuik, talempong batu, kick bass, maupun dari suara alam, seperti sungai, angin, dan elemen soundscape lainnya, yang merupakan hasil dari “perburuan suara” Rani di berbagai lokasi. Di pentas ini, Rani juga bernyanyi dan memainkan sampelong (instrumen tiup bambu Minangkabau).

“Karya ini bukan hanya tentang seni, tetapi juga tentang bagaimana kita terhubung kembali dengan alam dan budaya leluhur,” kata Rani. “Jika kincia aia sudah tidak lagi hadir di kehidupan masyarakat Minangkabau, itu berarti tanda bahwa alam kita sedang tidak baik-baik saja.”

Lintas Budaya dan Kolaborasi Musik

Pada salah satu sesi pertunjukan Malenong (M)aso, Rani berkolaborasi dengan Gabriel Laufer, seorang pemain perkusi asal Belgia. Gabriel, yang berlatar belakang musik klasik, membawa pendekatan improvisasi perkusif dengan menggunakan material non-musikal seperti seperti jerami padi yang dipukul atau digesek, pukulan bilahan kayu, dan triangle, serta beragam material lainnya.

Laman: 1 2 3 4

Tinggalkan komentar

Sedang Tren