Pengunjung Kincia Aia. (Dok. Rani Jambak)

“Kehadiran Gabriel memberikan dimensi baru pada pertunjukan ini, ia menciptakan tekstur bunyi yang unik, memperkaya keseluruhan komposisi yang sudah saya buat,” ujar Rani. Gabriel sendiri menyatakan kekagumannya terhadap musik yang dihasilkan kincia aia yang menurutnya sangat teknis namun tetap organik karena mengikuti sifat manusia yang tidak selalu bermain dengan tempo yang statis.

Pertunjukan tersebut dibuka oleh Levina Wirawan, Programme Manager Arts and Creative Economy dari British Council Indonesia dan Amanda Ariawan, Lead Curator ICAD 2024. Pada sesi kedua, Summer Xia, Country Director British Council Indonesia, menambahkan: “Ini adalah kesempatan spesial karena untuk pertama kalinya kincir Kincia Aia dalam ukuran besar dimainkan di luar Sumatera.”

Memutar Waktu dan Asal

Karya Kincia Aia: Malenong M(A)so tidak hanya berbicara tentang estetika dan teknologi, tetapi juga menyuarakan isu ekologi lingkungan yang menjadi perhatian utama Rani. Malenong yang berarti memutar, Maso yang berarti waktu, dan Aso yang berarti asal, merefleksikan keinginan untuk memutar kembali waktu dan menghargai asal-usul teknologi tradisional yang cerdas ini.

Rani mengangkat isu perubahan iklim dan bagaimana teknologi modern telah membuat kincia aia hampir punah. “Saya kesulitan menemukan sungai dengan arus deras untuk memutar kincir air ini,” kata Rani. “Sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber daya utama mulai mengering, banyak mata air yang mengering, ditambah lagi dengan persoalan sampah dan mikroplastik yang mencemari lingkungan kita.”

Dari Masa Lalu ke Masa Depan

Kecerdasan teknologi tradisional seperti kincia aia tidak hanya memotret masa lalu, tetapi juga menjadi refleksi atas kondisi saat ini. Rani berharap karyanya dapat menjadi inspirasi untuk masa depan. “Kita harus merayakan dan melestarikan kecerdasan leluhur ini. Jika tidak, generasi muda mungkin akan melupakan kekayaan budaya ini,” tegasnya.

Laman: 1 2 3 4

Tinggalkan komentar

Sedang Tren