Melempar jumrah Aqabah dengan batu-batu Ibrahim AS. (Rohmat Haryadi)

Perjalanan Muzdalifah ke Mina, Jumat, 6/6, jemaah berduyun-duyun dengan bawaan masing-masing. Ransel besar, koper, tas besar bukan ransel, berisi beragam kebutuhan. Sungguh perjalanan yang tidak mudah dengan Matahari sejengkal di atas kepala.

Cara membawanya pun unik. Ada yang dipetok dengan kain panjang (jarit) dan diseret-seret sepanjang jalan. Ada yang ditumpangkan sterofoam bekas buah dan diseret-seret. Ada yang dipanggul di punggung dan perut. Ada juga yang menggunakan tempat sampah beroda untuk membawa beban yang mereka dorong-dorong.

Jemaah terhuyung-huyung membawa beban masing-masing. Tak kuat, pingsan di jalan. Jemaah bersemangat luar biasa menempuh perjalanan yang tidak mudah. Satu tujuan adalah Mina. Dengan harapan bisa segera mencapai Mina dan beristirahat di tenda yang adem. Dan mengistirahatkan kaki-kaki yang melepuh.

Itulah replika Padang Mahsyar. Ketika manusia dibangkitkan dengan berbagai beban dan gendongan masing-masing. Dengan cara berjalan masing-masing, sesuai amalan ketika masih hidup. Hanya satu tujuan Mahkamah Pengadilan Tuhan. Vonisnya hanya dua Surga atau Neraka.

Dari Mina perjalanan suci diteruskan ke Jamarot, berjarak 2 kilometer berdasar angka yang tertera di pintu terowongan Mina. Perjalanan untuk mensucikan diri melempar Setan paling besar dalam diri masing-masing bernama Aqobah. Semua laki-laki berpakaian sama, sebuah kain yang disarungkan dan sebuah kain berukuran sama yang disampirkan di badan.

Semua sama. Tidak ada kasta. Tidak ada jabatan duniawi yang dibawa. Tidak ada pangkat yang disematkan di pundak. Semuanya berjalan dengan dua kaki yang melepuh. Lelaki tanpa topi maupun mahkota. Hanya selembar payung yang sedikit menangkis hujaman taji Matahari. Gambaran manusia dibangkitkan di Padang Mahsyar kembali tersaji di depan mata.

Bismillahi Allahu Akbar. Setan besar Aqobah dilempar dengan tujuh kerikil Ibrahim AS. Setan besar pun tumbang. Jemaah bertahalul. Menggunduli kepala sebagai simbol bersihnya dosa. Terlahir kembali. Larangan ihram tidak lagi berlaku. Jemaah bisa mengganti dengan pakaian biasa, dan kembali ke Mina untuk mabit (bermalam).

Setelah berganti hari kembali berduyun-duyun ke Jamarot untuk merubuhkan Setan Kecil (Ula), setan sedang (Wustha) sebelum akhirnya menghukum setan besar (Aqobah) dengan kerikil-kerikil Ibrahim. Dan jemaah pun kembali ke Mina untuk mabit. Esoknya, mereka mengulangi ritual yang sama dan bisa langsung pulang ke hotel (Nafar Awal). Ada yang memilih untuk kembali mabit di Mina untuk esoknya kembali menghukum setan-setan di Jamarot baru pulang ke hotel (Nafar Tsani).

Tinggalkan komentar

Sedang Tren